Sharing Seccion with Mentor, Deti Triani: Concall Berfaedah di Malam Minggu
Tentang
konservasi, apa sih sebenernya yang kita tahu? Kalau gua ditanya tentang itu,
pasti yang terbesit pertama kali adalah hewan-hewan yang dilindungi tapi malah
dieksploitasi sama pihak tidak bertanggungjawab. Ya, itu tentang masalah yang
berkaitan tentang rendahnya kepedulian terhadap konservasi fauna. Mungkin
sejauh ini juga yang gua tahu, kepedulian tentang alam sekitar dan
pelestariannya hanya didalami sama anak pencinta alam gitu, yang hobinya
ekspedisi. Apalagi ranah ilmu yang sekarang lagi gua dalami adalah akuakultur,
yang gua rasa cukup jauh kaitannya dengan konservasi. Gua merasa beruntung
banget bisa diskusi tentang masalah konservasi dengan kak Deti, alumnus IPB
yang sekarang bekerja untuk WWF yang mendalami bidang konservasi laut. Gua kenal
(sekaligus sharing pengalaman) dia
pertama kali melalui conference call
yang dijadwalkan oleh Bang Rama dan Kak Anti sebagai mentor untuk awardee Beasiswa Rama dan Anti melalui
via Whatsapp.
Kak
Deti dengan nama lengkap Deti Triani, telah menempuh jenjang perkuliahan
sarjana di departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB angkatan ‘47
(2010-2014) dengan mengambil minor Ilmu Kelautan. Sekarang dia berkarir sebagai
marine spatial planning assistant di
WWF. Kecintanya terhadap kelautan ternyata sudah dirasakan sejak kuliah. Tapi nih
yang kerennya, kak Deti sudah mengenal bidang konservasi serta pelestarian alam
sejak SMA. Dia cerita dulu sempat menjadi volunteer Green Peace dan ikut
konverensinya gitu. Semasa kuliah, dia bergabung ke dalam organisasi Unit
Konservasi Fauna (salah satu UKM di IPB). Prestasi yang membanggakan ketika kak
Deti bisa membawa hasil ekspedisinya di Ujung Kulon (Banten) tentang hewan
intertidal, kerang kima, ke konverensi internasional yaitu Student Conference on
Conservation Science pada tahun 2012 di United Kingdom. Padahal, dia awalnya
hanya mengirim abstrak yang saat itu juga belum tahu sebenarnya mau melakukan
apa. Bisa dibilang, abstrak itu hanya sekedar planning, sekedar ancang-ancang yang belum pasti. Wah gila sih nekad banget pikir gua
ketika itu. Kegiatan selama di SCCS adalah mempresentasikan hasil ekspedisinya dalam
bentuk poster. Ditengah-tengah concall, Kak Deti mengenalkan kepada kami sebuah
alat berbentuk tabung yang digunakan untuk mengurangi by-catch seperti penyu pada penangkapan di laut. Sensor pada tabung
tersebut jika tersentuh air, akan memancarkan lampu hijau yang akan dijauhi
oleh penyu menurut sebuah studi. Alat tersebut rencananya akan dikaitkan pada jarring
nelayan di Sorong. Namun, alat tersebut masih dalam percobaan dan belum banyak
yang tahu.
http://www.sccs-cam.org/ |
Ternyata tidak cuma dunia konservasi saja yang dia ikuti selama ini, tetapi kegiatan sosial pernah dia lakukan. Kak Deti juga pernah menjadi pengajar di Indonesia Mengajar pada tahun 2015-2016. Saat itu dia ditempatkan di Pulau Bawean. Hmm gua pernah denger pulau Bawean itu di jawa Timur tapi persisnya tidak tahu. Dan ternyata tempat itu ada di antara pulau Jawa dan Kalimantan, dan butuh kira-kira 10 jam untuk pergi kesana dari pelabuhan Gersik. Fakta menarik pun dia ceritakan selama mengabdi disana. Masyaraka Pulau Bawean ternyata 100% menganut agama Islam serta orang-orangnya yang memakai bahasa Melayu. Belum lagi yang mereka kenal adalah Malaysia dan Surabaya saja. Mereka tidak tahu banyak tentang Indonesia yang sangat beragam. Menurut kak Deti, problem yang ada di masyarakat itu adalah keragaman yang masih belum diterima luas. Misal nih, perbedaan bahasa antara masyarakat pesisir dan masyarakat pegunungan ternyata masih dianggap tidak biasa. Maka dari itu, kak Deti mengajarkan point of view keberagaman serta toleransi menerima orang-orang yang berbeda. Dia mengajarkan mulai dari Indonesia itu seperti apa, agama lain dan bahkan kak Deti dan teman-temannya membuat kegiatan Sahabat Pena. Mungkin kebanyakan dari kita sudah jarang banget tahu tentang kegiatan dengan nama keren penpal ini. Kata kak Deti, kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris anak-anak Pulau Bawean serta mengenal lebih banyak tentang keberagaman selain lingkungan di sekitar mereka. Kak Deti bilang kalau sudah ngincer mau bergabung di Indonesia Mengajar sedari tahun pertama masuk kuliah. Alasannya karena pengen dirinya berguna bagi sesama. Katanya juga, hidup itu tidak melulu mengejar passion. Pengabdian yang menurut gua tidak sebentar itu, membuat gua makin terkesan dengan perjalanan hidup kakak ini.
Gua baca profil kak Deti dari screenshot profilnya di Indonesia Mengajar yang dikirim kak
Anti ke grup whatsapp. Dan setelah
lihat profilnya di Linked In juga,
gua merasa kak Deti adalah orang yang aktif banget dan cinta sama apa yang dia
lakukan. Menurut gua, dia humble, berbicara
apa adanya dan terbuka. Bahkan di akhir sesi sharing, dia mengajak para awardee
untuk meet up ketika dia di Bogor
pertengahan Agustus nanti. Tidak heran, sampai-sampai tidak kerasa concall berjalan selama 1,5 jam lebih. Selama
concall, dia menjawab serta
menjelaskan semua pertanyaan awardee
dengan jelas dan buat kami semakin terbuka wawasannya. Terutama aku, yang ranah
pengetahuannya tidak sedekat Silki ataupun Adam
Sebenernya
masih banyak lagi bahasan di conference
call tersebut. Tapi sayang banget ternyata recorder video gua di smartphone
gak berjalan dengan baik, alhasil video yang terekam tidak bersuara dan gua
harus ngulik ingatan serta catatan
yang amburadul selama concall kemarin.
Di
akhir concall, kak Deti banyak
berpesan kepada kami bahwa setiap manusia punya path masing-masing dalam hidup. Setiap manusaia punya jalannya
menuju suksenya sendiri-sendiri, jadi jangan iri atau sekedar ikut-ikut tanpa
tahu esensi dari apa yang sedang dilakukan. Dan gua sangat setuju dengan
pernyataan tersebut. Kenapa? Jadi, pernah gua nonton film Tanda Tanya (?) Hanung
Bramantyo yang bercerita tentang konflik serta pergumulan hidup dari beberapa
orang beragama. Pesan yang paling gua tangkap adalah setiap orang punya cara
masing-masing untuk menuju Sang Pencipta, walau halang rintang dari lingkungan
banyak. Setiap tokoh di film itu, memiliki jalannya sendiri mengenal Tuhan yang
hanya satu. Ya, omongan kak Deti tersebut seketika mengetuk hati dan pikiran
gua lagi untuk terus maju dan berkembang. Mungkin banyak yang gua jadikan
panutan tanpa sadar. Tapi, arsitek dalam hidup gua ya gua sendiri. Orang lain
hanya sebagai pendukung sekaligus kritikus ketika hal yang gua kerjakan benar
atau salah.
– Kak Deti (Sabtu, 27 Juli 2019 via whatsapp)
Komentar
Posting Komentar